Kulminasi Narsisme #2: Eksploitasi

Resah Gak Sih - Haikal MF
10 min readApr 6, 2021
“We live in a fantasy world, a world of illusion. The great task in life is to find reality.” -Iris Murdoch

Kelemahan seorang manusia yang sering menjadi sumber datangnya masalah adalah kurangnya kepekaan dan antisipasi terhadap sesuatu di sekelilingnya. Entah itu kepada aspek fisik maupun non-fisik. Seperti misalnya, seseorang yang lengah menjaga harta benda miliknya saat sedang berada di angkutan umum. Atau misalnya, seseorang yang terlalu percaya diri dengan cara bicaranya, yang padahal hal itu telah menyebabkan orang-orang terdekatnya merasa sakit hati dan menjauhinya di kemudian hari.

Dua contoh barusan mungkin cukup untuk memberikan kita gambaran bahwa terkadang manusia tidak cukup mengerti kondisi serta situasi yang dialaminya. Itulah mengapa manusia dituntut untuk terus berpikir dan tidak berhenti menganalisa hal-hal di sekelilingnya se-mampu yang dia bisa. Walaupun pada hakikatnya, manusia tetap memiliki satu wilayah yang tidak dapat dikuasainya –seperti takdir–, yang sekaligus menjadi kelemahan dan kekurangan bagi manusia itu sendiri.

Tapi selama manusia bisa memaksimalkan potensi berpikirnya, maka tingkat kepekaan dan kewaspadaannya terhadap sesuatu di sekelilingnya pasti akan jauh lebih baik daripada manusia yang jarang menggunakan akalnya untuk berpikir.

Konsep ini pun berlaku untuk memahami kondisi umum terkait siklus sosial media. Seperti yang kebanyakan orang pahami, sosial media adalah tempat bagi mereka untuk bersosial secara virtual atau online (daring). Rata-rata dari mereka menganggap bahwa sosial media itu merupakan suatu tempat untuk mencari teman baru, berdiskusi banyak hal, komunikasi jarak jauh, hiburan, dokumentasi pribadi, karya, bisnis atau bahkan sekadar ranah keluh kesah. Umumnya kebanyakan orang hanya akan melihat sosial media dari aspek manfaat yang diperolehnya saja.

Di samping itu, sedikit sekali seorang individu –atau masyarakat sekalipun– yang melihatnya dari sudut pandang yang lain. Agak sulit menemukan orang yang tertarik untuk menyingkap masalah-masalah yang muncul dari sosial media.

Apa buktinya?

Fakta paling jelas untuk memperkuat asumsi barusan bisa dinilai langsung dari siklus yang terjadi di dalam sosial media itu sendiri. Siklus yang abnormal, penuh manipulasi, dan penyebab runyamnya cara bersosial masyarakat era post-modern hari ini. Seperti debat kusir tidak berujung, berlomba-lomba mengekspos privasinya, cari sensasi, kebodohan yang dipasarkan, tuduh-menuduh, isu yang dibingkai, gosip berjamaah dan hal-hal merusak lainnya. Semua ini terjadi secara berulang-ulang. Seolah-olah tidak pernah ada yang mencegah, dan rata-rata justru menganggap hal barusan sebagai hal yang biasa saja. Malah sebagian orang merasa apa yang terus berulang di sosial media merupakan sebuah “trend” yang harus terus diikuti tanpa pernah mau mengoreksinya lebih dulu.

Apriori dan pasif sering jadi sifat utama pengguna sosial media secara umum. Dan secara khusus, yaitu sifat yang dipakai oleh para pembuat konten, korporasi atau penguasa, sering memanfaatkan sifat para pengguna secara umum tersebut sebagai aset kepentingannya.

Maka jangan heran kalau jiwa-jiwa narsis dari sebagian orang yang mengaku sebagai influencer atau orang bodoh yang mencari sensasi bisa sangat mudah untuk dieksploitasi demi kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi dengan ditambah penjelasan indikasi “Kulminasi Narsisme” yang sudah gua jabarkan di tulisan pertama, situasinya menjadi semakin jelas bahwa memang ada sebagian dari mereka yang sangat tergiur dengan kenikmatan mencari atensi demi citra diri yang baik di depan publik.

Walaupun di satu sisi tidak dipungkiri juga ada yang sudah mulai kesal dan bosan dengan siklus sosial media seperti itu. Cuma sayangnya, bentuk kekesalan dan rasa bosan yang ada baru dikemas dalam luapan protes atau keresahan yang jarang memberikan solusi. Parahnya lagi pihak-pihak yang seharusnya bisa memberikan kebijakan dan regulasi untuk menyelesaikan persoalan barusan, justru membuat serangkaian undang-undang yang menimbulkan konflik lantaran penerapan hukumnya sering dijadikan alat politik.

Jadi dari sini gua ingin mencoba membuat kita semua lebih sadar lagi akan situasi. Supaya kita semua bisa memahami kalau sebagian besar para pengguna sosial media tidak terlalu peduli dengan efek samping kulminasi narsisme. Padahal itu adalah satu kecenderungan rusak yang menjadi sumber dari anehnya cara berpikir netizen hari ini. Cara berpikir yang jadi momok berbahaya bilamana tidak diantisipasi dan ditelaah sejak awal.

Membaca Pola Eksploitasi Kulminasi Narsisme

Racun kulminasi narsisme sangat halus ketika merasuk ke dalam cara berpikir para pengidapnya, yang akhirnya mampu melahirkan persepsi kalau memfasilitasi jiwa narsis adalah suatu kebutuhan. Dengan begitu, pihak-pihak tertentu bisa sangat mudah untuk menawarkan sesuatu yang sekiranya bisa memuaskan hasrat narsis kepada para pengidap kulminasi narsisme. Lalu mereka meminta timbal balik dengan tuntutan harus melakukan skenario A, B, atau C demi mewujudkan kepentingannya. Setelah itu, setiap kepentingan tersebut akan mulai terealisasi bersamaan dengan aktivitas yang dilakukan para pengidap kulminasi narsisme.

Loh, kok bisa begitu?

Ada dua faktor utama yang menurut gua dapat dijadikan sebab mengapa intrik manipulasi dan pemanfaatan tendensi narsis –sebagian besar skenarionya– tidak begitu mudah untuk disadari. Baik oleh para pengidap kulminasi narsisme ataupun para pengguna sosial media itu sendiri. Faktor yang pertama adalah anomali siklus sosial media yang terjadi sekarang, dan yang kedua adalah sikap apriori serta pasif dari para pengguna sosial media secara umum.

Secara garis besar, faktor pertama merupakan sebuah situasi yang sudah kadung runyam. Ada banyak latar belakang penyebab munculnya kerunyaman tersebut. Mungkin akan terlalu panjang kalau dibahas di tulisan ini. Tapi intinya, sebagian pengguna sosial media saat ini seolah telah membiarkan serta mentolerir situasi yang ada di sana (baca; sosial media). Banyak yang merasa bahwa itu merupakan hal yang biasa. Kebanyakan, para pengguna sosial media bahkan memang hanya menjadi bagian dari penikmat anomali siklus sosial media. Jadi alih-alih dibenahi, hal itu justru sering jadi bumbu penyedap kesenangan mereka. Bisa dibilang faktor pertama ini telah menjadi satu bius tersendiri, yang secara tidak langsung mengalihkan mereka untuk menyadari intrik-intrik pemanfaatan tendensi narsis.

Dengan situasi semacam itu, mulai banyak orang-orang yang merasa malas, jenuh, tidak mau ambil pusing, dan lebih memilih fokus kepada apa yang dia senangi tanpa pernah mau mengulik masalah yang sedang terjadi saat ini. Akibatnya, muncul sikap apriori dan pasif. Seperti yang sudah gua jelaskan sebelumnya, sikap apriori dan pasif adalah satu sikap yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk merealisasikan kepentingannya. Jelas alasannya karena sikap apriori dan pasif akan secara perlahan membawa setiap individu atau masyarakat menjadi abai terhadap masalah sosial apapun yang terjadi di sekelilingnya –termasuk soal kulminasi narsisme.

Mungkin bisa sedikit diwajarkan kalau tidak semua orang di sosial media akan memperhatikan setiap bentuk pemanfaatan tendensi narsis, yang sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Terutama sejak banyak bermunculannya orang-orang yang diklaim sebagai selebgram, vlogger atau influencer tertentu.

Di sini gua tidak sedang menggeneralisir bahwa semua selebgram, vlogger atau influencer tertentu berhasil dimanfaatkan oleh para pemilik kepentingan untuk dijadikan aset intriknya. Karena pada realitanya masih ada sebagian selebgram, vlogger atau influencer tertentu yang memang menjadikan internet (khususnya sosial media) hanya sebagai wadah karyanya.

Cuma yang jadi persoalan, tidak sedikit juga dari mereka yang mulai termanipulasi oleh tawaran yang menggiurkan untuk bermain peran sebagai penjilat kekuasaan dan propaganda. Mereka mulai bermain sebagai role player yang sedikit demi sedikit merusak tatanan ruang publik demi memfasilitasi hasrat narsisnya. Maka hal inilah yang jadi masalah utama. Dan inilah yang merupakan bukti kuat bahwa ada sebuah skenario eksploitasi kulminasi narsisme yang dibuat untuk tujuan tertentu.

Apakah asumsi ini nggak berlebihan?

Untuk itu, kita semua perlu menyingkap lebih dulu “tirai” yang menutup skenario barusan supaya kita bisa lebih cakap dalam mengantisipasi setiap pengaruhnya. Maka tidak ada cara lain selain mempertanyakan; bagaimana sih cara agar kita dapat mengetahui pola eksploitasi kulminasi narsisme?

Sejauh ini, gua menemukan dua cara yang paling relevan bagi kita sebagai orang biasa yang mungkin tidak memiliki keahlian khusus. Menurut gua sendiri dua cara ini merupakan kunci langkah preventif supaya kita dapat hati-hati sekaligus kritis terhadap semua jenis atau bentuk konten dan informasi yang ada di internet. Namun, karena dua cara ini bukan datang dari orang yang profesional, gua sarankan agar penggunaannya dibatasi hanya untuk membaca polanya. Bukan untuk menilai atau menuduh pihak-pihak yang mungkin telah dicurigai mengeksploitasi kecenderungan kulminasi narsisme.

Cara yang pertama adalah, kita perlu melakukan analisa yang mendalam terhadap berbagai jenis akun dan korelasinya dengan konten atau informasi yang menyita perhatian publik. Tapi syaratnya, sebelum menganalisa kita harus adil dalam mengambil perspektif (open mind), memiliki modal informasi yang cukup untuk dijadikan landasan (minimal memahami situasi atau keadaan), dan menggunakan intuisi kita untuk menentukan satu kesimpulan.

Sebagai contoh, gua sendiri telah mengklasifikasikan tiga jenis akun sosial media yang sangat lekat dengan indikasi kulminasi narsisme lantaran memiliki korelasi dengan konten atau informasi yang sering menyita atensi publik. Selain itu, ada bukti kuat bahwa tiga jenis akun ini memiliki hubungan dengan para pemangku kepentingan, yang rata-rata bercokol di dunia politik praktis. Tiga jenis akun tersebut di antaranya adalah, akun influencer, akun shitpsot dan akun proxy. Ketiganya ini memiliki fungsi yang berbeda dalam memainkan perannya.

Akun influencer misalnya, mereka pada umumnya paling mudah untuk mempengaruhi gaya hidup, standar sosial, atau cara berpikir pengikutnya. Di satu sisi akun influencer juga memang merupakan jenis akun yang lumayan banyak disukai dan diperhatikan oleh publik sosial media hari ini. Selain karena dekat dengan aktivitas narsis yang entertaining (contohnya seperti mengkampanyekan trend, selfie, vlog atau meng-upload kisah kehidupan pribadinya dengan kemasan yang bagus), para influencer itu sendiri mirip seperti para artis TV yang sukses dengan keterkenalannya. Terutama setelah mereka berhasil mendobrak panggung hiburan lewat internet.

Dengan begitu, mudah sekali bagi pihak-pihak tertentu untuk memberikan semacam negosiasi dan tawaran kepada mereka (baca; influencer) guna merealisasikan agenda kepentingannya. Entah mungkin nanti akan berupa narasi promosi, kampanye terselubung, opini tendensius, atau skenario setting-an. Semuanya bisa kita ukur sendiri sebagai bentuk antisipasi. Gambaran terkait kasus semacam ini pernah sempat terbongkar sampai ke media pada bulan Agustus tahun 2020. Dikabarkan bahwa ada dana sebesar (kurang lebih) 70 sampai 90 miliar rupiah dari pihak pemerintah untuk para influencer. Nah pertanyaannya, untuk apakah dana sebesar itu? Silahkan dicari dan dikritisi sendiri.

Berbeda lagi dengan kamuflase akun-akun shitpost. Akun jenis ini lebih memainkan perannya dalam bentuk konten. Terutama dalam bentuk konten hiburan yang sering membuat tertawa (receh). Tujuannya adalah agar membuat orang-orang terbius dengan kesenanangan, sehingga akhirnya lebih mudah dikontrol dan dimanipulasi. Gua sendiri sebetulnya sudah pernah menulis pola yang sedikit mirip dengan aktivitas kamuflase akun-akun shitpost di blog resahgaksih.blogspot.co.id.

Tapi ada opini dan analisa menarik sebagai tambahan tentang soft control project dari sebagian akun shitpost yang dimainkan dan dipelihara oleh pemangku kepentingan. Dengan tujuan agar masyarakat sosial media, khususnya anak-anak generasi muda, dikebiri pemahaman kritisnya terhadap politik. Sehingga nantinya, yang berbicara soal masalah politik akan diopinikan “sok-sokan” atau meresahkan, dan para pemangku kepentingan di balik skenario ini bisa langsung memanfaatkan keadaan untuk memainkan agendanya. Kasus ini pernah terjadi di Pilpres 2019, di mana salah satu akun shitpost yang memainkan peran guyonan sebagai calon Presiden Nomor 03 di laman Twitter ternyata dekat dan sekaligus menjadi pendukung salah satu calon Presiden waktu itu.

Terakhir, ada yang namanya akun proxy. Sejauh yang gua pahami, peran serta aktivitas akun jenis ini terfokus pada dua hal, yaitu framing dan adu domba. Mereka agak mirip dengan influencer, yang memang menggunakan identitas asli pada akun mereka. Bedanya, akun proxy terkadang bisa menyamar dan tidak diketahui identitasnya. Tapi yang jelas, mereka kerap memainkan peran sebagai “akun yang dikagumi” karena informasinya yang beragam. Seperti misalnya berupa bocoran rahasia, analisa politik, pandangan sosial, atau kritik mereka kepada tokoh-tokoh tertentu. Dengan skema-skema semacam ini, mereka mampu menarik perhatian publik sosial media.

Pemimpin redaksi dari media Kiblat.net, Fajar Shadiq, pernah menjelaskan dalam salah satu seminarnya tentang “Perang Opini di Era Perang Generasi Keempat”, bahwa di era saat ini perang yang sedang berlangsung adalah perang dengan senjata informasi. Di mana, perang itu bertujuan untuk merebut dan memenangkan opini publik demi tujuan tertentu. Dan untuk melindungi tujuan tersebut, pihak-pihak yang terlibat tidak lagi perlu langsung terjun ke lapangan. Mereka cukup mengirim proxy –yang mampu meraup banyak atensi publik– untuk memainkan perannya demi mencapai sebuah tujuan (kepentingan). Proxy di sini, biasanya, akan menjadi perantara yang menjalankan agenda-agenda tertentu yang sudah direncanakan oleh para pemangku kepentingan.

Lalu cara yang kedua adalah, kita harus memiliki informasi dari pihak-pihak yang terlibat, atau bahasa mudahnya, kita harus memiliki informasi dari “orang dalam”. Untuk cara yang satu ini memang agak sulit dari cara pertama. Alasannya adalah karena tidak setiap orang memiliki kemudahan untuk memperoleh akses yang sama. Tapi cara kedua ini jauh lebih praktis, dan persentase kebenaran dari informasinya –seperti data, fakta lapangan, dan skenario– jauh lebih besar dari cara pertama.

Menurut pendiri WikiLeaks, Julian Assange, security berteknologi tingkat tinggi itu kebanyakan bisa jebol bukan disebabkan karena kerusakan sistemnya, tapi karena human error yang membiarkan data-data di dalamnya bocor. Dengan begitu cara yang kedua ini celahnya sangat besar. Walaupun tetap ada syarat khusus yang menjadi jaminan bahwa “pihak terlibat” atau “orang dalam” yang dijadikan sumber sudah terbukti memiliki keterikatan dengan para pemangku kepetingan. Jadi, cara kedua ini perlu diukur dari faktanya lebih dulu, dan bukan hanya sekedar dilihat dari isi informasi, pengakuan sepihak, ataupun klaim kosong.

Cara Terbaik Supaya Tidak Dieksploitasi: Hindari Kulminasi Narsisme!

Secara karakter, kulminasi narsisme merupakan suatu kecenderungan yang keluar dari batas normal dan melebihi standar kewajaran, sehingga pantas untuk disebut “tidak normal”. Maka wajar mengapa kecenderungan ini dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemangku kepentingan. Mereka begitu memahami bahwa hanya ketidaknormalan saja yang bisa dimanfaatkan dan dikontrol dengan mudah. Sedangkan sebaliknya, suatu kenormalan itu merupakan hal yang paling sulit untuk dieksploitasi.

Meskipun di sisi lain, para pemangku kepentingan ini juga tahu betul, satu-satunya cara dalam memanfaatkan dan mengontrol kenormalan adalah dengan menyusupkan suatu intrik ke dalamnya. Sehingga kenormalan tersebut akan mulai berubah menjadi “tidak normal”.

Seperti layaknya Motor yang baru dibeli. Untuk membuatnya terlihat tidak normal –dalam artian tampak berbeda dari buatan asli pabriknya–, maka diperlukan yang namanya modifikasi atau penambahan part pada Motor yang baru dibeli tersebut. Namun kalau ingin tetap membuatnya normal –dalam artian sesuai buatan pabriknya–, maka semua bagian Motor yang baru dibeli tadi tidak perlu ada yang diganti atau ditambahkan.

Maka tidak bisa tidak, kalau mau terhindar dari eksploitasi para pemangku kepentingan, kita harus sepenuhnya menjadi “normal”. Atau dengan kata lain, kita harus terhindar serta keluar dari salah satu kecenderungan “tidak normal” yang bernama kulminasi narsisme.

Bagaimana caranya?

Ada beberapa rahasia krusial yang sekaligus menjadi syarat khusus terhindarnya kita dari kulminasi narsisme. Rahasia ini wajib untuk diketahui. Karena kalau tidak, kita akan tetap berpotensi terjebak dalam lingkaran tendensi narsis berlebih yang terus mengikat kebutuhan psikologi kita. Singkatnya, kita akan tetap merasa bahwa narsisme merupakan suatu hal yang harus dipenuhi bagaimanapun caranya.

Jadi, apa rahasia krusial tersebut?

Bersambung.

--

--