Kulminasi Narsisme #1: Indikasi
Secara gambaran besar, sosial media di awal gua mulai menulis (2016) sampai sekarang sebetulnya tidak terlalu banyak yang berubah drastis. Perubahan yang bisa dibilang signifikan cuma ada pada bentuk, jenis dan fungsi platform-nya saja. Saat ini banyak sekali variasinya. Tapi untuk soal perilaku dan kecenderungan dari para penggunannya masih sama. Paramater perubahannya mungkin terletak di “semakin parah atau tidaknya” efek sosial media kepada para penggunanya tersebut.
Karena kalau mau ditelaah bersama, kecenderungan soal “atensi” masih tetap menjadi core atau pokok dari kehidupan sosial media itu sendiri. Siklusnya, secara tidak sadar, kita punya spontanitas untuk mengeluarkan (saat memusatkan fokus ke sebuah konten) dan menginginkan (saat setelah membuat sebuah konten) atensi ketika sedang bersosial media. Konteks pembahasan ini bahkan dikupas tuntas di film dokumenter –tentang dilema sosial media– terbaru Netflix dengan judul The Social Dilemma.
Terus kalau tidak ada bedanya, ngapain capek-capek membahas?
Kalau logikanya seperti itu, sama saja seperti mempertanyakan; kalau sudah tau sosial media memiliki pengaruh toxic, lalu untuk apa masih memainkannya?
Karena di balik kalimat “tidak ada bedanya”, masih terdapat banyak hal yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang tentang sosial media. Itu juga termasuk sejalan dengan kalimat “memiliki pengaruh toxic”, maka pasti di dalamnya masih ada hal yang bermanfaat yang mungkin bisa didapat dari sosial media.
Semua ini akan selalu bersandar pada bentuk sadar atau tidaknya kita terhadap sesuatu yang kita alami. Termasuk ketika kita sedang bersosial media. Mungkin gua tidak cukup berkapasitas untuk membahas persoalan ini dari perspektif teknis, tapi mari kita coba lihat lagi persoalan ini dari aspek masalah umum yang dialami oleh banyak orang.
Sosial media mulai mengubah orientasi para penggunannya sejak muncul banyak tools yang memfasilitasi mereka untuk mendapatkan banyak atensi. Pada akhirnya, faktor ini menjadi sebab yang paling relevan untuk menilai mengapa sekarang perlombaan mengoleksi atensi menjadi hal yang paling menarik, dicari, ditolerir dan dilegitimasi oleh banyak orang. Kecenderungannya pun beralih dari yang tadinya memakai sosial media hanya sebagai ranah seperti komunikasi, tempat curhat atau galeri pribadi, lalu berubah menjadi seperti tempat perlombaan mencari dan meraup banyak atensi.
Apa buktinya?
Yang paling sering gua dapat dari beberapa dikusi terkait pembahasan ini adalah istilah FoMO atau Fear of Missing Out. Sebuah istilah yang identik dengan gejala takut ketinggalan dan takut tidak dianggap mengikuti sebuah update. Indikasinya seperti ingin selalu tampil up-to-date, ingin muncul sebagai bagian dari yang sedang mengikuti tren, merasa diri kurang update, dan merasa diri khawatir jika ketinggalan berita. Perasaan-perasaan semacam ini seolah tampak wajar dirasakan oleh para pengguna sosial media lantaran budaya menggunakan internet sudah terlanjur melekat.
Istilah FoMO sendiri pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan asal Inggris bernama dr. Andrew K. Przybylski. Dia menyebut bahwa FoMO merupakan gangguan kejiwaan yang mendorong keinginan seseorang untuk senantiasa mengikuti tren terkini secara berlebihan. Kemunculan FoMO menurutnya sejalan dengan tumbuhnya budaya atau kebiasaan online. Terutama yang paling khusus, semua ini akibat gencarnya penggunaan sosial media di kalangan masyarakat dunia.
Selain FoMO, kecenderungan paling mainstream yang bahkan sempat menjadi tren dari para pengguna sosial media adalah insecure (perasaan tidak aman). Penjelasan secara detilnya mungkin bisa dicari sendiri di beberapa jurnal atau artikel-artikel psikologi, tapi kecenderungan yang satu ini intinya merupakan efek yang timbul akibat terlalu menjadikan sosial media sebagai dunia yang sangat nyata. Ketika berlomba dapat atensi itu butuh kemasan yang bagus, maka persepsi ini memunculkan standar-standar random terkait penilaian “bagus dan jelek” yang sejalan dengan banyaknya tampilan –berupa konten foto atau video– di sosial media.
Akibatnya, sebagian besar dari mereka sering merasa kurang, tidak pantas, dan sering merendah diri dengan apa yang mereka lihat di sosial media. Seakan-akan apa yang ada di hidup ini harus memenuhi standar yang ada di sana (baca: sosial media). Mereka senantiasa membandingkan dirinya dengan apa yang dilihatnya itu. Biasanya yang sering membuat para pengguna sosial media merasa insecure itu bisa karena persoalan fisik, kehidupan sosial, dan pekerjaan.
Dua contoh kecenderungan barusan sebetulnya hanya sebagian, yang mungkin bisa jadi spotlight kalau arah masalah yang timbul dari sosial media memang kebanyakan dari kondisi psikis para penggunannya. Terutama dari rasa “terlalu ingin dirinya terlihat baik”, entah dari sisi fisiknya, informasinya, kepintarannya, keterkenalannya atau status sosialnya. Bisa dibilang, penyebab utama dari kecenderungan ini adalah perasaan narsisme.
Seiring dengan perkembangan sosial media itu sendiri, dan seperti yang juga sudah gua mention sebelumnya, para pengembang teknologi ini memang memfasilitasi setiap penggunanya dengan tools untuk memperoleh banyak atensi. Otomatis, hal ini jadi pemicu bagi munculnya perasaan narsis yang ada di setiap diri pengguna sosial media. Narsis secara definisi yang diambil dari Bahasa Belanda, merupakan perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Dari aspek naluri, manusia juga punya yang namanya Gharizah Baqa, atau yang artinya naluri mempertahankan diri, yang di dalamnya termasuk masalah eksistensi diri. Itu berarti sifat dasar manusia memang sudah diselaraskan dengan apa yang disajikan sebagai tools oleh para pengembang sosial media tersebut.
Apakah ada yang salah dengan itu semua?
Jelas tidak ada. Sah-sah saja bagi para pengembang teknologi, khususnya sosial media, menjadikan kondisi psikis manusia sebagai landasan tools mereka. Hanya saja, kita perlu pahami bahwa ada efek samping yang sampai sekarang dibiarkan begitu saja oleh mereka (baca: para pengembang teknologi). Karena mungkin, mereka hanya fokus bagaimana perusahaan mereka untung dengan tools-tools tersebut. Tapi di lain sisi, bagi kita yang mungkin sebagai pengguna sosial media, yang kita terima justru adalah efek samping yang tidak mudah untuk disadari. Efeknya terlalu bias oleh berbagai perilaku yang muncul dan ditolerir para pengguna sosial media itu sendiri.
Para pengguna sosial media jadi tidak bisa mengetahui apakah diri mereka sudah terlalu narsis atau tidak. Mereka juga tidak mengerti apakah ada efek samping yang merasuki pikirannya atau tidak. Di satu sisi, standar untuk mengetahuinya pun memang tidak ada. Toh kita juga tidak bisa membedakannya, dan mungkin kita hanya mampu menuduh orang-orang tertentu dengan cap tertalu narsis dan sering panjat sosial (pansos). Tapi sayangnya, landasan yang sering dilontarkan terlalu subjektif. Bahkan sebagian di antaranya memang muncul dari perasaan tidak suka atau kurang senang dengan perilaku beberapa pengguna sosial media.
Maka tidak salah rasanya, kalau kita perlu sepakat terlebih dahulu untuk menaruh “batasan” bahwa tulisan ini bukan untuk menjustifikasi dan melabeli pihak-pihak tertentu. Tapi lebih kepada menelaah apa sebetulnya gejala yang dialami kebanyakan pengguna sosial media di masa sekarang; yaitu sebuah gejala yang datang dari tendensi narsisme yang melandasi setiap aktivitas kita akibat bersosial media.
Karena seperti kecenderungan lainnya, narsisme juga punya titik puncaknya. Narsisme punya wilayah yang keluar dari batas wajar. Gua menamakannya dengan sebutan “Kulminasi Narsisme”. Bahkan secara definisi sebelumnya, narisme itu sendiri sudah terkesan berlebihan. Maka dengan tambahan kata “Kulminasi”, gua akan mencoba untuk menguliknya di tulisan ini.
Indikasi Kulminasi Narsisme
Gua sangat percaya bahwa apapun yang berlebihan itu tidaklah ada baiknya. Apalagi ditambah dengan keluar batas, pasti konotasinya mengarah ke sisi keburukan. Oleh sebab itu, kulminasi narsisme merupakan satu bentuk kecenderungan yang tidak baik untuk diri kita. Yang namanya ingin diakui, dipandang, diperhatikan atau hal-hal lain yang terkait eksistensi diri, semua ini merupakan keinginan yang wajar dari seorang manusia. Namun terlampau unjuk gigi atau percaya diri lalu menaruh ambisi demi memfasilitasi keinginan semacam itu justru malah akan menjadi boomerang bagi diri kita sendiri.
“Unjuk gigi berlebih hanya akan membuat gigi kita terasa kering”. Maksudnya adalah, kita hanya akan merasa lelah dan bosan dengan apa yang ingin kita tampilkan secara berlebihan. Malah yang lebih parahnya lagi, mungkin kita akan terus-menerus teralihkan oleh kebiasaan “narsis” yang kita lakukan sampai-sampai kita dimanfaatkan oleh “pihak lain” demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Terlalu berat ya?
Tenang, rasannya tidak se-berat yang kita pikirkan kok. Gua hanya ingin mencoba membawa kita semua sadar untuk mulai mengindikasi gejala kulminasi narsisme. Setidaknya, supaya kita terhindar dan menjauhinya.
Indikasi paling gamblang dari kulminasi narsisme adalah perilaku yang terlalu menginginkan dirinya harus dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain. Pencitraan serta klaim sepihak adalah jalan yang sering dipakai –oleh orang yang mengidap kulminasi narsisme– untuk merealisasikan hal-hal barusan. Ada banyak contohnya, dan salah satu yang mungkin familiar di telinga kita adalah “pansos”. Drama, cari sensasi dan melakukan tindakan-tindakan kontroversial, semua ini juga termasuk ke dalam metode yang kerap kali dipakai oleh mereka yang mengidap kulminasi narsisme. Karena hanya dengan cara-cara seperti ini, atensi sangatlah mudah didapat.
Biasanya, indikasi lain dari kulminasi narsisme itu akan berpacu pada waktu dan kondisi. Semakin cepat seseorang membuat serangkaian momentum –terutama dalam bentuk perilaku– di waktu dan kondisi yang tepat, semakin cepat pula perhatian itu di dapat. Layaknya teknik marketing sebuah perusahaan, waktu dan kondisi sangatlah krusial untuk diketahui terlebih dahulu sebelum mengiklankan sebuah produk. Jadi jangan heran, kebanyakan output dari para pengidap kulminasi narsisme pasti hanya menyandarkan kepuasannya pada kuantitas. Mencakup seberapa banyak yang memandangnya, mengakuinya, memperhatikannya dan menganggapnya baik.
Tapi perlu diketahui, kulminasi narsisme hanya lekat pada kecenderungan yang membawa setiap perhatian hanya menuju kepada dirinya. Bukan apa yang dibuatnya. Sesuatu, apapun itu, yang dibuat oleh orang yang mengidap kulminasi narsisme cuma dijadikan jalan guna memfasilitasi kecenderungan narsisnya. Persoalan ini perlu gua batasi. Karena kalau tidak, mungkin ke depannya akan ada yang menganggap bahwa setiap yang berkarya dengan kreativitasnya dan memasarkan karyanya dengan menarik perhatian banyak orang adalah salah satu pengidap kulminasi narsisme. Sedangkan, menurut gua, kulminasi narsisme agak jauh dari mereka yang punya kreativitas dalam berkarya.
(Perlu pembahasan sendiri untuk menjelaskan standar “berkarya”. Jadi, mari kita fokus untuk menelaah lebih lanjut kulminasi narsisme)
Intinya, kulminasi narsisme adalah sebuah bentuk afirmasi (penegasan) bahwa “gua harus dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain”. Untuk mencapai tujuan seperti itu, maka tidak ada cara lain selain harus meraup banyak atensi dan menggunakan penilaian publik sebagai penopangnya. Lalu berlomba-lomba menjadi pusat perhatian sampai hasrat kulminasi narsisme itu terpuaskan.
Dari yang fokusnya ke masalah “permukaan” seperti membangun karakter palsu, menebar pesona, mengeksploitasi lekuk tubuh dan memamerkan sesuatu yang berharga, atau sampai yang fokusnya ke masalah berupa opini, narasi dan menyentuh ranah prinsip-prinsip hidup, tapi semuanya hanya ditujukan agar dirinya bisa dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain. Kulminasi narsisme sering mengendap bersamaan dengan aktivitasnya di sosial media. Dan ketika semua itu terusik, pembelaan akan datang demi mempertahankan hasrat narsisnya.
Bagi yang merasa terusik, misalnya karena keterkenalan, status sosial, jumlah follower, keindahan fisik atau kekayaan, yang semuanya ini tidak menguntungkan dirinya saat sedang mengalami masalah, maka itu merupakan salah satu pertanda bahwa ada hasrat kulminasi narsisme dalam dirinya. Poinnya adalah, ketika kita merasa bahwa kita sudah memiliki hasrat kulminasi narsisme, kita tidak akan senang dengan kritik, kurangnya perhatian, atau sesuatu yang dapat menyebabkan kita kehilangan kesempatan untuk dapat “dicap baik oleh orang lain”.
Mudahnya, kita bisa melihat kalau di era sekarang banyak orang yang bertindak seenaknya demi mengoleksi perhatian dari publik di sosial media, dan mereka bahkan kerap langsung melakukan klaim sepihak dan mengatakan apa yang dilakukannya ini merupakan sebuah perilaku yang keren, anti-mainstream, edgy dan unik. Kemudian ada pula sebagian yang lainnya berusaha mengajak keburukan dengan membicarakan aib orang lain demi menarik banyak perhatian, dan menjadikan itu sebagai opini publik bahwa “gua adalah influencer yang jujur dan ngomong apa adanya”.
Serupa dengan itu, ada juga yang berusaha menjadi pemberi informasi dan sering membuat opini kontroversial ke publik sosial media agar dianggap sebagai sosok yang “cerdas”. Padahal, apa yang dibuat tidak “secerdas” kelihatannya. Pola seperti ini memang tidak mudah untuk disadari, atau bahkan sulit diketahui secara eksplisit, lantaran terlalu samar dengan informasi dan opini yang dibuatnya. Sebab utamanya adalah, kalau mau mengutip apa yang Tom Nichols pernah katakan; “kita semua ingin dianggap serius dan dihormati. Pada praktiknya, agar tidak dianggap bodoh, kita berpura-pura menjadi lebih pintar daripada sebenarnya. Lama-kelamaan, kita bahkan mulai percaya kalau kita memang sepintar itu”.
Padahal nyatanya, semua ini dilakukan untuk memfasilitasi kulminasi narsisme. Lalu setelah mendapatkan banyak atensi, seringnya para pengidap kulminasi narsisme itu akan menjadikan setiap atensi sebagai sumber uang dan pemasukan kantong pribadinya.
Selain hal-hal semacam itu, yang menurut gua punya pola yang sama adalah perilaku dari seorang pemimpin yang menjadikan ranah kepemimpinannya sebagai komoditas –baik untuk dirinya maupun kelompoknya. Para pemimpin yang hanya mau kaya sendiri, dan tidak maksimal dalam mengurusi rakyatnya, namun tidak ingin kehilangan kekuasannya. Setelah gua coba menelaahnya melalui beberapa literatur, ternyata kulminasi narsisme juga tertanam di dalam jiwa mereka (baca: pemimpin dzalim). Bahkan kulminasi narsisme ini sekaligus dipakai sebagai jalan mempertahankan kekuasaannya.
Ada sebuah artikel menarik yang dibuat pada 2014 oleh Seno Gumira Ajidarma (wartawan) tentang “Psikopatik = Narsistik = Totaliter”. Di sana tertulis mengenai status Adolf Hitler yang tetap memiliki pengagum dan pendukung setia meskipun kejam serta sadis ketika memimpin. Disebutkan juga, pemimpin semacam Hitler ini merupakan kulminasi dan perwujudan dari peradaban pada masanya, yang memang akan menonjol akibat jiwa “narsisist”.
Narsisist itu sendiri akan menemukan, membentuk, dan memandang dirinya (pemimpin) sendiri dengan keliru, sebagai bagian dari “dongeng” yang berada dalam pilihan ditakuti atau dikagumi oleh rakyatnya. Semula menjaga jarak dari persepsi tersebut ketika menggenggam tampuk kepemimpinan, seorang pemimpin narsis malah menjadi lebih buruk dalam jebakan kekuasaan yang diembannya. Delusi dan fantasinya akan kebesaran selalu didukung otoritasnya sendiri dalam membuat sebuah kebijakan. Semuanya demi merealisasikan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Jiwa narsis pemimpin seperti ini bahkan sampai harus menuntutnya untuk terus dikelilingi oleh para penjilat. Sehingga setiap kritikan yang menimpanya bisa langsung dilibas habis dengan pembelaan dari para penjilatnya itu.
Untuk yang satu ini, apa hubungannya dengan sosial media?
Justru hubungannya sangat nyata. Karena sebagian besar yang mengaku sebagai pemimpin juga menggunakan sosial media sebagai ranah untuk strategi politik dan propagandanya. Mereka tahu bahwa sosial media merupakan aset bagi kemaslahatan kekuasaannya, dan itu berarti mereka bisa memainkan sebuah opini, narasi, atau slogan-slogan di wilayah dunia maya sehingga mereka tetap bisa eksis dikenal sebagai sosok pemimpin. Seperti yang sempat gua sebutkan sebelumnya, pencitraan termasuk salah satu jalan yang sering dipakai oleh para pengidap kulminasi narsisme. Maka kita tidak perlu heran mengapa ada sebagian pemimpin yang memakai jalan ini demi menarik simpati rakyatnya agar tetap dipandang atau dianggap baik.
Padahal, menurut Ibn Khaldun, seorang pemimpin akan mendapatkan kedaulatannya sendiri jika ia memiliki solidaritas sosial dan sifat-sifat baik untuk menjadi modal dalam mengurusi rakyatnya. Karena hanya dengan bentuk seperti itu pemimpin bisa memberikan keadilan, keamanan dan kemakmuran bagi masyarakatnya. Tidak perlu sampai harus rela-rela berkorban masuk ke tempat sampah, gorong-gorong, kolong jembatan, atau tempat-tempat yang dianggap kumuh lainnya, lalu merekam dan menyebarluaskan rekamannya –melalui sosial media– demi mencuri hati rakyat. Pemimpin yang baik tidak akan pernah melakukan semua itu. Jiwa narsis justru hanya akan membawa seorang pemimpin mengalami kehancuran dari ranah kekuasannya sendiri.
Menyikapi Masalah Kulminasi Narsisme
Lantas, apakah salah memainkan sosial media di era sekarang?
Apa kita tidak boleh mendapatkan rasa senang dari perhatian orang lain?
Jelas bukan seperti itu kesimpulannya. Seperti yang gua bilang, di tulisan ini gua hanya mengajak untuk menelaah apa yang perlu diketahui tentang kulminasi narsisme. Sehingga kita bisa berkaca dan menghindari setiap indikasi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Karena sosial media masih punya manfaat dan sisi yang baik untuk setiap aktivitas kita. Tidak salah juga ketika kita punya kesenangan tersendiri untuk mencari dan mendapatkan perhatian di sana (baca: sosial media). Hanya saja, agar tidak membias dengan efek sampingnya, maka kita perlu mengoreksi setiap aktivitas kita, termasuk mengoreksi “apakah diri kita telah terjangkit kulminasi narsisme atau tidak”.
Koreksi seperti itu sangatlah penting. Karena bagi gua, menyikapi persoalan kulminasi narsisme ini nantinya bukan hanya akan mencegah efek buruk yang muncul pada diri kita sendiri saja. Tapi juga bisa lebih meluas –keluar dari “zona individu”– lantaran kecenderungan hasratnya yang memang selalu harus terus terikat dengan atensi dari orang lain. Hubungan kulminasi narsisme dan atensi itu ibarat pengantin sunat dan para pengiring yang menopangnya ketika diarak keliling desa. Di mana, pengantin sunat tidak akan dikenali oleh warga sekitarnya jika tidak diangkat ke atas oleh para pengiringnya.
Selain itu, para pengidap kulminasi narsisme ini juga akan selalu terbuai oleh kenyamanan “persepsi baik” dari orang banyak, yang akhirnya dijadikan celah bagi “pihak-pihak tertentu” untuk dimanfaatkan serta dieksploitasi sebagai pelumas kepentingannya. Salah satu yang mungkin relatable dengan situasi seperti itu adalah, pemanfaatan eksistensi influencer –yang punya banyak crowd atau masa (followers)– untuk dijadikan sebagai alat politik (pengumpul suara, penggiring opini, dan pengalih isu).
Loh, kok bisa?
Gimana polanya?
Apakah semua ini cuma konspirasi belaka?
Bersambung.