Pelan-Pelan Pak Supir…
Lahir, hidup, mati. Begitulah fakta absolut yang gak bisa manusia bantah. Sekalipun dia gak terima “kenapa dia dilahirkan” atau bahkan “takut akan kematian”, semua manusia pasti akan melewati fase lahir, hidup dan mati.
Tapi berbicara soal fase kehidupan, kalau dipikir-pikir prosesnya mirip sama penggunaan transportasi. Dimana di dalamnya ada lokasi tujuan, trek yang ditempuh dan kendaraan yang dipilih.
Setiap manusia sejak dia bisa berpikir tentang “kehidupan” pasti akan dituntut untuk menentukan “tujuan hidupnya”, lalu memilih trek/jalan mana yang paling “baik dan benar” menurutnya, dan kemudian mengambil kendaraan yang “paling nyaman dan aman” untuk melewati trek yang ditentukan demi mencapai tujuan hidupnya.
Tujuan sebagai titik akhir, trek/jalan sebagai titik tempuh, dan kendaraan sebagai titik tolak ukur (nilai dan standar hidup) seseorang dalam melewati setiap fase perjalanan hidupnya.
Di samping itu, selama diperjalanan pasti ada yang berposisi sebagai supir dan penumpang. Entah dia sendiri sebagai supir dan orang lain sebagai penumpang, atau sebaliknya. Dan pada hakikatnya, tugas seorang supir adalah menyetir kendaraan yang dikendarainya, dan tugas penumpang hanyalah disetir oleh sang supir.
Karena akan jadi lucu, kalau supir disetir oleh penumpangnya sendiri. Layaknya fenomena sekelompok ibu-ibu yang meminta seorang supir untuk mengikuti kemauan mereka melihat “Sepeda Nabi Adam”.
Pelan-pelan pak supir… Pelan-pelan… Astagfirullah… Ada “Sepeda Nabi Adam”… MasyaAllah…
Yang harus kita tahu…
Fase perjalanan hidup selalu beriringan dengan kondisi zaman/peradaban. Termasuk hari ini, dimana semua situasinya sudah berubah dengan apa yang disebut “zaman modern” dan “dunia digital”. Hal ini telah berperan mengubah “pola pikir” manusia, yang juga termasuk berperan mengubah kebiasaan manusia dalam menyikapi perjalanan hidupnya.
Ambil contoh di Indonesia. Pendiri Asosiasi Influencer Indonesia (AFI), Wenny Fatma Triyanti mengatakan lewat media Jakarta Post bahwa, “ketersediaan akses internet yang luas dan menjangkau khalayak yang lebih luas menjadi faktor utama yang membuat budaya flexing sulit diberantas dari pengaruh masyarakat.”
Dilansir Statista, hingga 2021 lalu ada sekitar 191,4 juta pengguna media sosial di Indonesia. Dengan jumlah sebanyak itu, rata-rata audiens dari Indonesia disebut lebih mudah terpengaruh dengan tampilan “modern”, kemewahan dan modal budaya yang konsumtif.
Selain itu, Wenny menjelaskan bahwa, di negara berpenduduk 273 juta orang dan dengan berbagai kelas sosial ekonomi serta perbedaan sosial yang signifikan ini, banyak masyarakat yang akhirnya justru tertarik untuk melihat sekilas gaya hidup mewah orang kaya.
Itu karena gak sedikit masyarakat di Indonesia yang berstatus kelas menengah ke bawah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut angka kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 9,57 persen pada September 2022, dengan 26,36 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Artinya adalah, khususnya di negeri kita tercinta ini, ada sebuah gambaran menarik yang bisa kita ambil sebagai POV (point of view). Bahwa ternyata rata-rata masyarakat kita lebih banyak terpengaruh oleh fenomena “materialis” dalam menjalani kehidupannya. Termasuk dalam menentukan tujuan, jalan/trek, dan kendaraan hidupnya.
Atau bisa dibilang, kebanyakan masyarakat negeri Indo Wakanda ini disetir oleh paham “materialis” yang mengarahkan sebagian besar perjalanan hidupnya. Terlebih lagi semuanya telah disokong oleh dunia digital, yang menstimulus jiwa-jiwa materialistik melalui berbagai “konten flexing” dan konten sejenis lainnya.
Maka gak heran, kalau betapa banyaknya orang yang bertujuan untuk menjadi kaya dan mendapatkan materi/uang sebanyak mungkin. Fokus bekerja atau “berkarya” demi meraup harta hingga bisa ditumpuk dan diwariskan di kemudian hari. Menghabiskan waktunya untuk memuaskan hasrat keinginan yang sebetulnya tak akan pernah bisa dipuaskan.
Tujuan ini pula yang mendorong kebanyakan orang memilih trek/jalan pragmatis dengan anggapan; yang penting cepat sampai. Atau dalam penjelasan mudahnya, trek/jalan yang ditentukan cuma berdasarkan “apa yang harus didapat hari ini?” atau “apa yang bisa diinvestasikan di masa depan?” tanpa berpikir panjang bahwa semua orang pasti mati, dan semua uang/materi yang didapat tidak akan pernah bisa dibawa mati.
Akhirnya kendaraan yang ditentukan pun cuma sebatas untuk memfasilitasi trek/jalan yang pragmatis, tidak peduli apakah benar atau salah. Baik atau buruk. Bagus atau jelek. Kalau bisa menjadi “kendaraan” yang mengantarkan ke tujuan dengan trek/jalan secara pragmatis, kenapa tidak? Untuk itulah nilai “manfaat” menjadi tolak ukur, dan disinilah orang-orang sampai pada tahap berpikir untuk “menghalalkan segala cara”.
Beban hidup untuk semua orang
Sudah pasti gak sepenuhnya semua orang bertujuan untuk mengumpulkan materi/uang sebanyak-banyaknya dan menumpuknya hingga mati demi kepuasan pribadi. Karena terdapat sebagian lainnya yang beranggapan kalau mereka cuma mengikuti “tuntutan realitas” atau “memenuhi kebutuhan keluarga”, yang mau gak mau pasti harus mencari materi/uang.
Tapi masalahnya, pengaruh orientasi materi/uang ini telah memberikan tekanan hidup yang tak kunjung usai kepada mereka, dan terus menerus menghujam begitu dalam, sehingga membuat mereka seolah hidup berdasarkan ekspektasi orang lain. Yakni ekspektasi untuk harus terus mampu “mengikuti alur realitas” dan “pemenuhan kebutuhan keluarga”. Wajar kenapa prinsip pragmatisme begitu banyak diambil sebagai trek/jalan keluarnya.
Ditambah lagi, dengan data yang sudah disebutkan tentang pengaruh media sosial terhadap tujuan hidup masyarakat Indonesia, akhirnya membawa sebagian besar orang menjadikan media sosial sebagai referensi standar hidup yang cukup membebani. Dimana hampir rata-rata kontennya menghadirkan kehidupan materialis dan flexing. Seperti misalnya beli iPhone terbaru, sukses cepat, punya rumah dan menikah di usia 25 tahun, atau healing ke Bali.
Fenomena ini menggambarkan kepada kita semua betapa ruwetnya kehidupan yang berjalan di atas ekspektasi orang lain (karena “tuntutan realitas” dan “pemenuhan kebutuhan keluarga”). Dan juga betapa ruwetnya kehidupan yang distandarisasi oleh faktor materialis dan flexing, yang seolah-olah membuat kita seperti seorang supir yang disetir oleh penumpang.
Dianggap sukses jika punya pekerjaan atau status sosial tinggi, dan dianggap berhasil jika sudah punya uang banyak yang bisa memenuhi perut atau kebutuhan-kebutuhan lainnya secara terus-menerus. Kalau gak memenuhi semua itu, bakal dicap buruk dan aneh oleh orang lain, entah itu keluarga, teman atau tetangga sendiri.
Efeknya, seseorang akan sulit berdiri di atas prinsip sendiri, dan kalah oleh segala bentuk paradigma zaman yang menyertai semua manusia hari ini. Maka wajar kenapa sampai ada yang mengungkapkan bahwa; “prinsip idealis akan kalah oleh tuntutan realistis.” Inginnya berkata hidup gak cuma soal materi/uang, tapi di samping itu hidup juga butuh materi/uang.
“Lu punya duit, lu punya kuasa… Tapi buat gua enggak nye*t!”
Penyakit menular bernama “cari untung”
Selain itu tujuan materialistis ini juga berdampak pada respon seseorang/sekelompok orang untuk terus mengikuti arus dan kemauan pasar, yang sering disebut sebagai industri.
Sampai-sampai, segala bentuk bidang aktivitas dari hiburan, kesehatan, pangan, politik, sosial, pendidikan, media, wisata dan berbagai bidang aktivitas lainnya bernuansa sama. Yakni sama-sama menjadi objek industri (komoditas), yang bisa diperdagangkan, harus untung dan jangan sampai buntung.
Misalnya hiburan, tidak peduli apakah akan merusak moral atau tidak nantinya, yang penting bisa diterima oleh pasar dan menarik banyak audiens supaya memperoleh keuntungan yang besar.
Pendidikan pun sama, tidak peduli apakah mereka nantinya akan jadi generasi emas atau sebaliknya, yang penting lembaga pendidikan bisa melanjutkan kehidupannya dengan terus memiliki banyak murid, akreditasi, atau subjek terkait lainnya demi terus eksis. Maka outputnya, murid-murid atau mahasiswa cuma dipaksa ikut tuntutan realitas agar mereka bisa melewati arus, yakni “lulus dengan nilai terbaik” untuk menjadi pekerja, yang ujungnya harus mencari pemenuhan kebutuhan materialis demi kehidupannya juga.
Singkatnya, semua persoalan cuma berujung pada “supply” dan “demand”, yang dimana hal tersebut memang merupakan fundamental bagi sebuah industri (komoditas). Nuansa semacam ini benar-benar tertanam begitu kuat di dalam segala bentuk bidang aktivitas kita sekarang. Tujuannya adalah hanya untuk mengumpulkan materi, dan tak peduli trek/jalan apa yang harus ditempuh, begitu pula dengan kendaraan apa yang akan dipilihnya.
Dengan nuansa seperti inilah, kenapa kita semua terpaksa merasakan betapa peliknya hidup. Bersaing untuk meraih tujuan materi, sembari terhimpit oleh tuntutan arus realitas yang membebani. Trek/jalan pintas WAJIB dipilih, dengan kendaraan mana saja yang ada tanpa mengukur lagi “benar dan salah”-nya.
Ibaratnya, sudah capek-capek mencari kerja demi tujuan memenuhi kebutuhan, lalu ketika mendapatkan kerja –entah dengan cara yang halal atau haram– hasilnya hanya untuk membeli rumah atau kendaraan, yang nantinya diperuntukkan guna mempermudah aktivitas kerjanya. Paradoks.
Atau capek-capek menjadi pemimpin, lalu mengumpulkan dana untuk modal kampanye, dan ketika terpilih harus membalikkan modal kepada para pemilik modal, dengan terus meraup keuntungan dan mempertahankan kekuasaan, membuat kebijakan yang timpang demi kepentingan pribadi, tanpa peduli lagi “apa tugas sebagai seorang pemimpin”. Kacau.
Ternyata ini biang kerok utamanya!
Sumber masalah yang membuat kebanyakan orang berprinsip pragmatis materialistik, suka gak suka, adalah sistem yang tegak hari ini yakni kapitalisme. Dari sistem ini terbentuklah pemikiran-pemikiran berdasarkan asas “manfaat materi” yang merangsek ke dalam banyak benak orang hari ini, yang salah satunya membuat mereka materialistis. Asas yang juga kemudian menjadi standar kebahagiaan bagi kebanyakan orang sekarang.
Lewat pemikiran “sekulerisme” yang melahirkan kebebasan manusia dalam berbuat, berkeyakinan, kepemilikan dan berpendapat –karena memisahkan aturan agama dari kehidupan atau negara–, dari sinilah kapitalisme mulai menancapkan akarnya ke dalam pola kehidupan. Melalui berbagai macam aturan buatan manusia, standar-standar sosial, dan juga prinsip-prinsip gaya hidup.
Singkatnya, sistem kapitalisme ini berjalan atas dasar “kapital” atau pemilik modal, yang menjalankan berbagai perusahaan-perusahaan besar dari berbagai bidang industri seperti hiburan, kesehatan, tambang, hutan dan sebagainya. Namun ketika hal ini harus berbenturan dengan masyarakat, di sanalah “pemilik modal” harus memutar cara agar diberikan kemudahan lewat “legitimasi” hukum.
Salah satu caranya adalah dengan memberikan modal kepada calon penguasa di sebuah negeri, untuk membuat aturan yang melegalkan aktivitas industri yang dijalankan oleh para kapital.
Jadi tak heran misalnya, ketika masyarakat dihimpit oleh tuntutan pajak dan kebutuhan pokok, sedangkan para pemilik perusahaan besar justru berkesempatan untuk mendapatkan “Tax Amnesty” atau pengampunan pajak. Atau misalnya, masyarakat disuguhkan berbagai macam dorongan/hasrat menjadi kaya melalui produk-produk mewah –melalui iklan atau promosi–, sampai membuat mereka rela menghutang dengan BUNGA besar demi merealisasikan jiwa konsumtifnya. Sehingga para pemilik industri menjadi senang karena meraup banyak keuntungan, sekalipun mungkin produk/jasanya bukanlah kebutuhan pokok masyarakat.
Berada di bawah naungan hukum rimba
Meski flexing dan hal-hal materialistik lainnya sudah menjadi tujuan yang harus diraih, namun sayangnya gak semua masyarakat bisa bertahan, karena pada faktanya ada yang tersingkirkan. Bahkan lebih parahnya, yang kuat –memiliki modal/para kapital– akan mengontrol yang lemah, dan sebaliknya yang lemah akan dikontrol, kalah, terlempar dan lalu mati tertelan zaman.
“Setiap orang dipaksa berkompetisi. Gak peduli apakah mereka mampu atau gak sama sekali. Layaknya berada di bawah naungan hukum rimba.”
Akhirnya kesenjangan sosial makin besar, gap orang miskin dan kaya semakin jauh, lalu sebagian masyarakat yang merasa mampu terus hidup dalam utopia yang gak ada ujungnya. Mereka cuma terkungkung dalam tempurung fase kehidupan dan lingkaran setan. Yaitu lahir, sekolah, kuliah, kerja, punya istri, punya anak, punya cucu, dan pola ini kembali diulang oleh anak serta cucunya. Yang membedakan hanyalah dari segi kualitas Agama-nya, apakah dia lebih rajin ibadah atau tidak.
Tapi itupun sama aja. Mereka tetap jadi individualis yang radikal yang gak mengubah keadaan. Seolah dengan rajin ibadah ritual semata, tanpa merubah sistem rusak hari ini, kondisi akan lebih baik dan bisa mati dalam keadaan tenang. Sedangkan tetangganya masih banyak yang gak bisa bertahan hidup, saudaranya hilang pekerjaan, dan masyarakat sulit berkembang karena gurita kemiskinan.
Namun alih-alih peka oleh keadaan barusan, mereka yang individualis itu selalu protes kenapa bangsanya terus mundur dan gak bisa maju. Mereka menyalahkan masyarakat yang lain, tanpa pernah berpikir bahwa sebab utama masalahnya bukan dari situ. Dan hanya berpikir kalau perubahan akan lahir dari PEMILU. Ironis.
Satu-satunya jalan keluar…
Pahamilah semua yang kita jadikan tujuan hari ini adalah sebuah kesalahan, selama kita belum berpikir kalau diri kita merupakan SUPIR bagi kehidupan kita sendiri. SUPIR berfungsi mengendalikan tujuan, trek/jalan dan kendaraan hidup ini. Bukan disetir oleh tren, kebahagiaan semu, opini mayoritas, uang, dan hal-hal materialis lainnya yang hanya berfungsi sebagai penumpang.
Artinya, arus “materialis” yang masif dan mempengaruhi kita sekarang –yang merupakan efek dari sistem kapitalisme– bukanlah sesuatu yang wajib diikuti. Namun pengaruhnya harus difilterisasi. Bukan gak boleh cari materi, karena materi punya peranan penting dalam hidup kita. Hanya saja materi bukanlah tujuan hidup kita.
Oleh karena itu kita sebagai SUPIR wajib terlebih dahulu menentukan tujuan hakiki, trek yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan, dan kendaraan apa yang mau dibawa. Singkatnya, kita WAJIB menjadi seorang yang ideologis yang mampu memiliki pemikiran/keyakinan mendasar yang kuat tentang kebenaran, mengembannya dalam kehidupan, dan juga menjaganya dari gempuran “arus materialis.”
Kita WAJIB punya basic fundamental yang melandasi cara berpikir kita, dan metode pelaksanaan cara berpikir kita, agar apa yang kita pikirkan bukan hanya sebatas teori kosong yang gak solutif karena gak punya sisi penerapannya dalam kehidupan.
Maka hanya dengan menjadi ideologis sajalah kita bisa menemukan fakta yang terjadi hari ini, masalah yang ditimbulkannya, dan solusi konkrit untuk mengubah semuanya. Namun semua ini hanya bisa dilakukan jika kita sendiri sudah mau berpikir cemerlang, dan meninggalkan prinsip pragmatis yang menjebak kita dalam lingkaran setan arus materialis.
Berpikir bahwa apakah hidup kita memang hanya untuk mencari materi, dihimpit oleh tekanan dan tuntutan materi, atau sebatas menjadi manusia yang individualis yang cuma memikirkan dirinya sendiri?
Selain itu, menyadari bahwa bukankah kita yang hidup di alam kapitalis hari ini merasa sulit untuk mendapatkan kebahagiaan? Sulit pula untuk mendapatkan keadilan maupun kesejahteraan? Bukankah kita juga sudah merasa gak nyaman dengan kondisi masyarakat yang tertinggal dan terkurung dalam kebodohan?
Jadi, masihkah kita mau bertahan dengan kondisi sekarang? Padahal faktanya kita masih punya akal untuk menilai semuanya dengan jernih. Harusnya kita sampai pada kesimpulan; “kalau bertahan dirasa tidak mengenakan, mengapa tetap dilanjutkan?”
Jangan mau jadi SUPIR yang disetir PENUMPANG, yang hanya hidup mengikuti dan mendengar “suara arus” karena gak punya prinsip yang lahir dari ideologi. Ingat, hidup kita cuma sekali. Kesempatan untuk menyadari kesalahan cuma saat ini. Dan menyesalinya setelah mati tidak akan berarti.
Mari kita pikir ulang lagi sama-sama. Demi perubahan dan perbaikan. Pelan-pelan pak SUPIR…