Moral Hipokrit

Resah Gak Sih - Haikal MF
6 min readAug 18, 2021

--

“Kelestarian dan kehancuran dunia sangat ditentukan oleh para penguasa” -Imam Al Ghazali

Ada satu pandangan yang terbesit di kepala gua belakangan ini, bahwa; semakin manusia banyak melakukan atau mempraktekan suatu perilaku yang –dianggap– baru padahal itu merupakan suatu kerusakan, maka semakin repot juga manusia menemukan cara untuk menyikapinya. Kecuali manusia dapat mengerti pola dasar dari setiap perilaku tersebut, dan diselesaikan lewat sistem (aturan) yang benar serta terstruktur dan komprehensif.

Namun dengan kebingungan yang kita alami akibat buruknya sistem aturan hukum kita saat ini, masalah yang muncul jadi banyak. Salah satunya adalah masalah moral. Parahnya lagi, saat ini muncul pula sebuah kecenderungan yang turut menyelimuti fenomena-fenomena kerusakan moral. Di mana, kecenderungan ini sangat sering membawa seseorang untuk melakukan justifikasi terhadap setiap perilakunya.

Tujuannya tidak lain demi mengkampanyekan “standar moral” versinya sendiri. Maka efeknya, situasi sosial menjadi rusak dan cenderung terpolarisasi menjadi dua bagian atau lebih. Terdapat kohesifitas kelompok yang saling bersinggungan akibat justifikasi “standar moral”.

Misalnya, para kelompok feminisme menganggap kesetaraan dan emansipasi tinggi terhadap perempuan merupakan ide yang harus dijunjung tinggi. Namun di satu sisi, standar kesetaraan mereka (kelompok feminisme) sendiri adalah para laki-laki. Sehingga setiap aktivitas yang sama seperti para laki-laki merupakan standar yang baik.

Sebagian dari mereka (kelompok feminisme) bahkan ada yang sampai bentrok dengan sebagian perempuan yang menjunjung tinggi kemulian dan kebaikannya menjadi seorang istri, hanya karena istri memposisikan dirinya sebagai pelayan suami –yang menurut sebagian kelompok garis keras feminisme melayani suami dianggap sebagai penindasan. Lalu setelah itu, terjadilah perdebatan yang tidak berujung.

Semua ini tidak lain disebabkan oleh “standar moral” subjektif yang masif dikampanyekan. Hal itu menciptakan nuansa moral standar ganda dan lebih mengarah kepada pembenaran atas perilaku menyimpang. Ada tendensi yang gua istilahkan sebagai Moral Hipokrit. Atau yang artinya adalah, moral palsu bermodalkan klaim dan narasi jualan sebagai justifikasi atas perilaku menyimpang.

Contoh yang lainnya sangat banyak. Beberapa di antaranya bisa kita lihat dari kacamata kaum rebel. Ada berbagai macam bentuk ke-ngeyel-an yang mereka pegang sebagai landasan, dan itu bisa kita cermati sendiri karena mereka sebetulnya berada di sekitar kita. Atau selain kaum rebel, ada penyuka hal kontroversial yang seolah memposisikan diri sebagai musuh masyarakat hanya karena resah dengan sebagian kecil fenomena masyarakat umum di Indonesia.

Kecenderungan mereka, sebagian besarnya, selalu diawali dengan klaim sepihak. Hal ini pun sering menjadi tameng, dan cuci tangan (atas kesalahan) adalah jalan ninja mereka. Tidak ada solusi yang ditawarkan, namun tidak pula mereka berpikir apa konsekuensi dari tindakan mereka terhadap situasi sosial.

Misalnya, ada yang mengkampanyekan hal seperti “humanity above religion”, tapi mereka tidak sama sekali menunjukkan esensi dari kemanusiaan itu sendiri. Kemudian memfokuskan masalah hanya pada aspek “Mayoritas vs Minoritas”, tapi tidak pernah belajar untuk mencari tahu masalah lain yang sebetulnya jauh lebih besar, krusial dan mendasar yang justru menjadi sebab utama terjadinya masalah (Mayoritas vs Minoritas) tersebut. Atau kemudian berlindung di balik klaim dark jokes, hanya karena “katanya” itu merupakan solusi untuk berdamai dengan diri sendiri. Akhirnya, tindakan sensitif pun lama-kelamaan dibenarkan, dan menyudutkan pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan dark jokes.

Saking rusaknya, harga diri mereka pun dijual. Kaum-kaum rebel mungkin lebih akrab dengan aktivitas semacam itu, dan rata-rata memang menganggapnya bukan sebuah masalah yang besar. Karena menurut mereka, itu semua merupakan perilaku yang biasa dan tidak merugikan. Alasannya simpel; “ya namanya juga dunia pergaulan bebas”. Semua hal menjadi wajar di sana (dunia pergaulan bebas). Yang penting enak, menguntungkan dan tentunya, menyenangkan. Mikir…? Belakangan.

Biasanya kaum-kaum rebel juga akan membalut setiap standar moralnya dengan cerita pendukung yang penuh drama –dari yang nyata sampai yang dibuat-buat– supaya bisa mendapatkan ijazah persetujuan dan simpati dari banyak orang. Namun ketika sebuah masalah datang, seperti mental illness misalnya, kaum-kaum rebel kelimpungan. Seringnya masalah mereka akan ditimpa lagi dengan masalah yang lain. Bahkan banyak yang lepas tangan sehingga tidak menghubungkan masalah tersebut dengan perilaku menyimpang yang mereka lakukan.

Lebih parahnya lagi moral hipokrit semacam itu tidak hanya masif di kalangan masyarakat biasa. Para penguasa yang saat ini duduk di atas kursi kekuasaannya, sebagian besarnya, bahkan sangat lekat dengan kebiasaan para pengidap moral hipokrit. Kita bisa ukur dan nilai sendiri dari realitas yang terjadi belakangan ini, terutama selama era pandemi virus corona. Semuanya begitu “telanjang” dan mudah untuk kita temukan korelasinya.

Kalau mau dipikir-pikir, agaknya pandemi virus corona ini juga semakin memperjelas dengan sejelas-jelasnya bahwa memang moral hipokrit menjalar ke berbagai sudut elit penguasa. Moral hipokrit para penguasa sedikit lebih unik, karena mereka tidak hanya bermain di atas narasi. Namun juga bisa kita lihat dari kebijakan, perilaku dan penerapan hukum negeri ini.

Fenomena paling terbaru memperlihatkan bagaimana rusaknya nurani, empati dan kepekaan para elit penguasa dengan keputusan mereka memasang banyak baliho di pinggir jalan demi “atensi” untuk persiapan pemilihan umum 2024. Padahal masyarakatnya masih dalam kondisi yang krisis akibat dampak pandemi virus corona. Tapi para penguasa itu malah memainkan janji klise yang penuh bualan di dalam balihonya seperti “berjuang bersama rakyat”.

Atau fenomena lain yang semisal adalah ketika penguasa lebih memilih pemberlakuan PSBB atau PPKM selama era pandemi ketimbang UU Karantina Wilayah yang sudah jelas tertera dalam hukum negeri ini. Pada penerapannya, masyarakat dengan kebijakan tersebut (PSBB atau PPKM) dituntut untuk berada di rumah, sementara sumber kebutuhan mereka tidak dipenuhi atau dibantu secara maksimal oleh elit penguasa.

Bukankah dua fenomena ini begitu aneh, hipokrit dan kontradiktif?

Mereka, para penguasa itu, seolah dapat memilih perilaku atau kebijakan mana yang sesuai keinginan mereka sendiri tanpa memikirkan atau mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat –yang seharusnya mereka urusi– dan lebih mengedepankan kepentingan pribadi serta kelompoknya. Meskipun narasi yang mereka sampaikan memberi harapan baik bagi masyarakatnya.

Polanya mirip seperti disaat mereka masih berkampanye supaya bisa dipilih oleh masyarakat. Mereka pun sering menampilkan moral hipokrit agar bisa diterima dan dianggap baik. Janji ingin di demo, janji akan memberantas korupsi, janji menyelesaikan persoalan HAM, janji meningkatkan ekonomi negeri, atau sampai yang paling klise, janji menyejahterakan masyarakat. Semua ini sering jadi jualan mereka, walaupun sampai detik ini tidak pernah terealisasi.

Tapi uniknya, mereka masih sering dipilih, dipuji dan selalu berhasil menjual omong kosong itu sehingga mereka bisa berada di atas “singgasanannya” sekarang. Karena sering bermodal narasi inilah, penerapan kebijakan dan aturannya pun menjadi amburadul. Sama seperti yang kita rasakan selama pandemi ini. Banyak kontradiksi, atau sebut saja, banyak moral hipokrit yang terjadi.

Yang ingin di demo malah tidak pernah muncul ketika ada demo, yang katanya akan memberantas korupsi malah mengkebiri komisi pemberantas korupsi, yang katanya mau menyelesaikan persoalan HAM malah ikut andil dalam pelanggaran HAM, yang punya misi meningkatkan ekonomi negeri malah banyak minta hutang ke negeri lain, atau yang bercita-cita menyejahterakan masyarakat malah menyengsarakannya dengan kebijakan sekarep dewe.

Lalu ketika ditanya kenapa yang terjadi malah seperti itu, sebagian dari penguasa itu dengan entengnya menjawab; “Ya ndak tau kok tanya saya…”

Jualan narasi dan kontradiksi penerapan kebijakan akhirnya menjadi hal yang lumrah sekarang. Tidak ada nilainya, apalagi penerapan yang konkrit. Sekalipun ada sebuah nilai, Agama misalnya, itu akan dimunculkan dan digunakan oleh para penguasa ketika memang nilai tersebut memuluskan kepentingannya.

Praktik para penguasa ini sebetulnya sering diprotes oleh sebagian masyarakat yang sadar, tapi tetap saja tidak ada yang berubah. Karena mereka terlalu menganggap bahwa mereka berkuasa. Sampai-sampai hukum pun akhirnya diterapkan untuk menghantam siapa saja yang mengusik, mengkritik dan memprotes kekuasannya. Hukum menjadi tergantung siapa yang berkuasa. Yang kuat akan melahap yang lemah, dan begitulah keadaan kita sekarang.

Sering kita lihat sendiri, kalau ada penguasa, seseorang yang punya status sosial atau jabatan yang tinggi, hukuman tampak mudah untuk diringankan. Para pejabat yang korupsi misalnya, mereka dengan gampangnya memberi sebuah narasi seperti “saya masih punya anak kecil yang harus ditanggung…” atau “kasihani saya dan keluarga saya kalau saya ditangkap…”. Ini dilakukan demi menarik simpati, padahal mereka korup.

Tapi sebaliknya, kalau masyarakat biasa dan bahkan kelas menengah ke bawah yang mencuri dengan jumlah yang kecil, seolah hukum adalah “Palu Gada” yang siap menghantamnya dengan keras. Sekalipun mereka juga punya alasan yang sama dan jauh lebih nyata karena memang mereka melanggar hukum demi menyambung hidup. Mereka terpaksa melakukan itu karena para penguasa tidak terlalu peduli dengan nasib mereka.

Padahal jika ketidakadilan semacam itu sudah masif terjadi, maka bukankah itu berarti sama saja tidak ada penerapan hukum? Bukankah ketika hukum itu ada dan tegak maka harusnya bisa menciptakan keadilan? Lantas apa gunannya hukum kalau pada faktanya manusia tidak bisa merasakan jaminan keadilan?

Sekali lagi, moral hipokrit ini sudah terlalu marak. Entah itu masif di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan elit penguasa. Ini semua merupakan satu konsekuensi yang agaknya harus diterima lantaran sistem aturan hukum kita saat ini cuma bermodal teori dan narasi saja. Namun pada prakteknya, teori dan narasi tersebut begitu terpisah jauh dari kenyataan.

Ya wajar saja, namanya juga sistem aturan hukum buatan manusia, yang memang fakta penerapannya akan sangat bergantung pada siapa yang berkuasa.

--

--

Resah Gak Sih - Haikal MF
Resah Gak Sih - Haikal MF

Written by Resah Gak Sih - Haikal MF

Tempat bagi keresahan yang terabaikan.

No responses yet