Kulminasi Narsisme #3: Solusi

Resah Gak Sih - Haikal MF
6 min readJan 31, 2022

--

“And we need to know what it is to be human if we are to avoid becoming narcissists” -Alexander Lowen

Dengan mengetahui pola eksploitasi kulminasi narsisme pada tulisan kedua (klik di sini), entah setuju atau tidak, ternyata kita secara tidak langsung sedang berada dalam ketidaknormalan masyarakat sosial di era sosial media. Tapi gua sendiri paham, di antara kita semua pasti bakal ada yang menyangkalnya dengan berkata; “terus, mau gimana lagi?

Ya jawabannya tidak gimana-gimana. Kalau misalnya kita memang merasa keadaan tidak normal di sosial media adalah merupakan suatu kenormalan, ya silahkan saja. Tidak ada yang bisa memaksa kehendak seseorang untuk keluar dari perasaan nyamannya sendiri. Termasuk tulisan ini.

Hanya saja, bagi gua sendiri yang masih mau dianggap sebagai manusia normal, rasanya tidak rasional jika gua harus bertahan dalam situasi yang tidak normal. Sedangkan di satu sisi, gua masih mau dan mampu berpikir untuk menemukan cara agar dapat keluar dari ketidaknormalan tersebut. Jadi mau tidak mau, harus ada yang namanya jalan menuju kenormalan.

Spektrum Kulminasi Narsisme

Definisi kulminasi narsisme, seperti yang sudah gua jelaskan pada dua tulisan sebelumnya, merupakan perilaku yang cenderung terlalu menginginkan dirinya harus dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain. Ini menunjukkan bahwa ada potensi bagi diri kita untuk terjangkit penyakit aneh ini jika kita tidak terlalu peduli terhadap kecenderungan barusan ketika sedang menggunakan sosial media.

Selama kita masih belum bisa mengontrol hasrat ingin dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain, peluang untuk bisa terinfeksi kulminasi narsisme sangatlah besar. Semua ini terfokus pada penyikapan kita tentang eksistensi diri, yang jika terus distimulus dengan kecenderungan-kecenderungan barusan, kita akan merasa ketagihan.

Kita akan terus mencari kepuasan ego yang nyatanya tidak pernah bisa tuk dipuaskan. Maka dari sini, kita akan mulai menjadi “tidak normal”.

Sosial media hanyalah alat atau platform yang tidak ada nilainya (baik atau buruk). Sebagaimana alat atau platform, maka kitalah pemegang kendali dan pemberi nilai itu. Bukan malah sebaliknya –kita justru termakan dan terkontrol oleh alat atau platform tersebut. Fokuslah pada tujuan positif apa yang ingin kita capai dengan menggunakan alat atau platform tersebut. Supaya kita mampu mendeteksi setiap distorsi atau gangguan yang sekiranya telah menghalangi kita dalam mencapai tujuan menggunakan sosial media.

Maka kenalilah beberapa ranah yang harus kita hindari sebagai bentuk antisipasi kita dari kulminasi narsisme. Ranah ini tidak lain merupakan spektrum-spektrum (baca: kecenderungan ingin dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain) di luar kenormalan yang sering menjebak manusia untuk terbuai oleh eksistensinya sendiri. Diantaranya:

1. Self-centered (egoisme)

2. Morph mentality (mental ikut-ikutan)

3. Berambisi menjadi sosok pintar di Internet (bangga diri)

4. Berusaha mengkampanyekan diri sebagai “anti-mainstream” (mencari diferensiasi)

5. Bermodal yang penting “viral” (sensasional)

Lima spektrum ini memiliki fragmen masing-masing, dan itu akan terus mendorong seseorang untuk menggaungkan eksistensinya hingga ia dapat dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain. Jebakannya tidak mudah terdeteksi lantaran memberi efek stimulus pada kepercayaan diri. Alhasil itu membuatnya dengan mudah terjangkit kulminasi narsisme.

Jadi sekali lagi, fokuslah pada tujuan positif yang ingin dicapai. Jangan terjebak oleh pemenuhan nafsu dan hasrat terkait eksistensi diri tersebut. Hal ini pun berlaku bukan hanya ketika ingin menggunakan sosial media, tapi juga berlaku di kehidupan yang kita jalani sekarang ini. Karena kulminasi narsisme tak ayal muncul dari naluriah alami kita sebagai manusia. Hanya saja naluri tersebut mengalami disorientasi (penyimpangan).

Pada hakikatnya hidup manusia juga tidak berada di dalam sosial media. Terlalu sempit untuk menstandarisasi hidup yang penuh lika-liku ini cuma dengan melihat sosial media. Jangan mau jadi katak dalam tempurung. Sadarilah, dunia nyata tidak berbanding lurus dengan dunia maya. Realitas kehidupan ini hanya beberapa persen saja yang sejalan dengan apa yang ada di internet.

Mulailah bertanya kepada diri sendiri, sejak kapan teknologi –khususnya sosial media– mengambil alih hidup kita dari dunia nyata? Dan sebagai pertanyaan tambahan, sejak kapan kita semua setuju untuk menormalisasi semua ketidaknormalan yang ada di sosial media?

Mengantisipasi kulminasi narsisme tidaklah se-sepele yang dibayangkan. Bahkan ukuran urgensi kita untuk melakukan antisipasi beranjak dari jawaban atas dua pertanyaan barusan. Selama kita tidak peduli, ketidaknormalan yang ada di sosial media akan terus marak. Dan selama kepedulian ini tidak berubah menjadi solusi sistemik, ke-ideal-an dalam ber-internet hanyalah angan-angan semata.

Ketahuilah, berbagai harapan yang ingin kita peroleh dari pemuasan eksistensi diri di sosial media tak ayal cuma memperpanjang situasi ketidaknormalan. Sedangkan hakikat kita sebagai manusia terus dikuras habis demi bisa dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain. Lantas masih merasa amankah kita dengan situasi seperti itu?

Jangan terlalu naif!

Padahal para pemangku kepentingan yang mengeksploitasi kulminasi narsisme tidak akan pernah berhenti selama masih ada ketidaknormalan yang dapat dimanfaatkan. Kerunyaman aktivitas bersosial pun terancam rusak gara-gara hal tersebut. Ya meskipun di hari ini kritik-kritik sarkas dan satir –tentang netizen bodoh, SJW berisik atau influencer tukang cari sensasi misalnya– sangat masif menyebar, namun para pemangku kepentingan masih terlalu kuat untuk mempengaruhi opini karena supremasi mereka dalam hal kepemilikan sumber daya.

Di era perang informasi yang opininya bahkan sering berkamuflase, sangat naif rasanya kalau kita tidak menaruh kecurigaan terhadap setiap bentuk pemanfaatan ketidaknormalan yang tak ada habisnya ini. Maka bukankah kita akan lebih bisa hati-hati jika kita mulai mengembalikan kenormalan dari diri kita sendiri?

Di mana ada demand, maka di situ ada supply. Dan demand ini bisa terbentuk karena adanya pengondisian yang bentuknya sistemik. Sedangkan pengondisian secara sistemik hanya mampu dibuat dan dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki supremasi. Bukankah dewasa ini keadaan sosial media dan isinya pun begitu?

Ketika para pembuat konten kreatif banyak yang protes tentang YouTube atau sosial media lainnya akibat isi konten yang cenderung bernuansa “tidak berkualitas”, apakah mereka tidak sadar bahwa semua itu merupakan buah dari pengondisian yang sistemik?

Sosial media sudah menciptakan pasar tersendiri, yang dari sana bisa menghasilkan keuntungan besar. Intinya, ada uang yang mengalir di sana. Komoditasnya pun beragam, dari yang memang bentuknya bisa dilihat secara fisik sampai yang tidak tampak sama sekali. Semuanya ada. Dan semuanya bisa dijual. Kebodohan, ketenaran, perhatian, atau bahkan nurani kemanusiaan kita, semuanya ini bisa dijual!

Maka pernahkah kita berpikir kalau sosial media sekarang ini bukan hanya berisi orang per orang saja, namun korporasi –yang juga terkadang menjadi pemangku kepentingan– yang ingin meraup untung dengan memanfaatkan kondisi tidak normal?

Setidaknya, meskipun tidak semua orang mau kembali menjadi normal di tengah ketidaknormalan yang sudah dinormalkan oleh keadaan, kita semestinya mampu untuk memilih sikap mana yang paling terbaik.

Kita bisa kembali kepada esensi manusia yang sesuai dengan fitrah-nya, yang tidak terjebak dalam buaian nafsu hasrat ingin dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain. Kita bisa kembali murni hanya melakukan aktivitas yang seperlunya dalam memenuhi kebutuhan, tanpa pernah bernafsu untuk mencari hal sia-sia hanya demi memperoleh “pujian-pujian” dari manusia.

Seperti layaknya perkataan Imam Malik ketika ia memberi nasihat kepada penguasa di Madinah, “Hati-hati! Janganlah Anda terkecoh dengan sanjungan manusia. Orang yang memuji Anda dengan kebaikan yang mungkin tidak dilakukan suatu saat akan mencela Anda dengan kejahatan yang mungkin juga tidak dilakukan. Anda lebih mengenal diri Anda daripada mereka.”

Esensinya adalah, “pujian-pujian” dari manusia itu sering menipu. Persepsi tentang “kekerenan” atau “kesenangan” ketika memfasilitasi kulminasi narsisme juga pada faktanya tidak akan menjamin ketenangan hidup. Padahal, apalagi yang kita cari selain ketenangan dalam menjalani hidup ini?

Coba kita pikir ulang, apa tujuan kita hidup di dunia ini? Apakah kita terlahir di dunia ini, yang tidak atas kehendak diri kita, memang dibiarkan bebas untuk memilih tujuan hidupnya sendiri? Dan apakah tujuan hidup kita hanya untuk sebatas ingin dipandang, diakui, diperhatikan dan dianggap baik oleh orang lain?

Pikir ulang sekali lagi, sebetulnya kita ini berasal dari mana? Dilahirkan di dunia ini untuk apa? Dan mau ke mana kita setelah mati meninggalkan dunia ini?

Semua pertanyaan ini merupakan dasar pondasi yang akan menopang bangunan pikiran di atasnya. Semua pertanyaan ini pula lah yang akan jadi arahan awal bagi kita semua untuk kembali menjadi normal. Dengan begitu kulminasi narsisme tidak akan pernah bisa menguasai diri kita lantaran kita semua telah mampu menjadi normal.

Gunakan akal kita dalam menjawab semua pertanyaan ini. Karena akal diperuntukkan untuk berpikir. Sedangkan kulminasi narsisme itu bukan lahir dari akal, melainkan nafsu (perasaan) yang tidak akan ada ujungnya. Akal mengarahkan kepada kepuasan dan membawa manusia bertahan dalam kenormalannya. Sedangkan nafsu (perasaan) selalu cenderung pada kedangkalan perilaku yang sering menyesatkan sehingga manusia tampak seperti tidak normal.

Jadi ya mari biasakan berpikir. Dan mulailah kurangi narsis.

Tamat.

--

--

Resah Gak Sih - Haikal MF
Resah Gak Sih - Haikal MF

Written by Resah Gak Sih - Haikal MF

Tempat bagi keresahan yang terabaikan.

No responses yet